Thursday, August 6, 2015

Seni Tradisi Saluang Pauah Melintas Zaman Karena Tak Ada Generasi Penerus

Malam gelap gulita. Kesunyian mulai mendekam. Jalanan masih jauh untuk sampai ketempat tujuan. Sepanjang jalan suara jangkrik mengiringi deruman mesin kendaraan hingga menghantarkan pada tujuan. Sesampai di tujuan, terlihat orang-orang sedang duduk santai bersenda gurau pada bias cahaya remang-remang sembari menyeduh kopi dan gorengan.

Laporan: Julnadi Inderapura, Padang

Saluang Pauah
Jam telah menunjukkan pukul 20.00, orang-orang telah mematikan puntung rokoknya dalam asbak. Taklama kemudian terdengan pengeras suara dalam gedung menginformasikan bahwa pertunjukan segera di mulai. Orang-orang mulai menyiapkan diri dengan menyelamatkan barang bawaannya menuju pintu masuk gedung pertunjukan yang telah dibuka. Setelah semua penonton masuk ke dalam gedung pertunjukan, barulah pertunjukan di mulai. Selama pertunjukan berlangsung, sorak-sorai dan ketawa ngekeh dari penonton pun tak dapat dihelakkan. Sebab, pertunjukan Saluang Pauah yang disampaikan dengan pantun, kaya dengan pesan moral, pendidikan. Itu alasan kenapa penonton bersorak-sorai karena kekagumanan terhadap pesan apa yang disampaikan oleh pedendang.

Saluang Pauah Jati Sehati yang beralamat di jalan Korong Gadang Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat tampil di Festival Tanggal 3 Ladang Tari Nan Jombang Dance Company di gedung pertunjukan Manti Manuik Balaibaru, Senin, 3 Agustus 2015 malam.

Zamri Rajo Bunsu, Padendang atau tukang dendang Pauah menyebutkan perbedaan saluang pauah dengan saluang darek adalah dari segi cerita. Yakni menceritakan sebuah kisah ataupun kaba dengan cara berpantun. Kemudian dalam memainkan saluang atau maambuih (meniupkan) saluang lebih mengutamakan perasaan. Garinyiak (lantunan nada) yang dimainkan pun menggunakan perasaan sesuai dengan selisih pernafasan dalam meniupkan saluang pauah.

"Saluang Pauah keberadaanya hanya Pauah. Tidak semua orang bisa memainkan saluang pauah. Salauang pauah di kenal juga dengan sebutan Saluang Pakok (tutup, Sumbat). Karena untuk memakok (menutupi) kepala saluang pauah yang dikenal juga istilah lidah saluang menggunakan batang pohon 'baru'. Alasan di-pakok (ditutup) menggunakan batang pohon 'baru' adalah batang pohon baru sangat mudah mengambang jika terkena air atau embun. Pakok yang menjadi lidah saluang untuk di tiup sebagai sumber bunyi maka, saat di tiup batang pohon baru tersebut menjadi lembab dan basah sehingga mengambang. Saat batang pohon baru tersebut mengambang, terjadilah penyumbatan atau ditutup (dipakok) pada bagian kepala sehingga tersumbat atau tapakok. Inilah asal mula saluang pauah dikenal dengan salauang pakok," sebutnya.

Lebih lanjut, Zamri Rajo Bunsu memaparkan saluang pauah memiliki enam buah lobang pada bagian atas dengan tangga nada, yakni do, re, mi, fa, so, la. Emam buah lobang atau tangga nada tersebut memiliki arti dan makna tersendiri. Keemam lobang atau tangga nada dalam saluang pauah tersebut bermakna 'suku adat' yang ada dilingkungan Nagari Pauh. Lobang ke dua atau tangga nada 're' pada saluang pauh adalah simbol suku Jambak. Lobang ketiga dengan tangga nada 'mi' simbol suku Malayu. Lobang keempat dengan tangga nada 'fa' simbol suku Caniago. Lobang kelima dengan tangga nada 'so' simbol suku Tanjuang. Sedangkan lobang pertama dengan tangga nada 'do', dalam adat pauah diartikan sebagai Kapalo Rang Mudo, istilah ini muncul setelah saluang pauah ini dikenal sampai ke nagari Koto Tangah. Kemudian lobang suara pada bagian kepala diartikan sebagai Nagari (negara). Sehingga suku dan adat saling bersimambungan dengan nagari.

"Kemudian pada saluang pauah ada pula yang disebut dengan nada sisipan. Untuk nada sisipan tersebut dengan menutup eman lobang atau tangga nada pada bagian atas kemudian membuka satu lobang bagian bawah. Ketika saluang pauah tersebut di tiup maka menimbulkan bunyi melengking yang disebut 'pakiak' atau nada sisipan. Karena saluang pauah memiliki satu buah lobang pada bagian bawah," lanjutnya sembari mempragakan bunyi saluang pauh.

Selanjutnya, terang Zamri Rajo Bunsu, struktur lagu yang dimainkan Saluang pauah ada tujuh jenis irama. Pertama, irama dendang Pado-pado atau dikenal juga dengan himbauan saluang. Pantun yang dimainkan adalah pantun pasambahan. Kedua, irama dendang pakok anam atau menutup keemam lobang (tangga nada) pada saluang. Ketiga, pakok limo atau menutup kelima buah lobang (tangga nada) pada saluang pauah, keempat dendang limo data (lima nada yang datar), kelima dendang limo dagang (lima anak rantau), keenam dendang dan lagu Jain, kemudian yang ketujuh dendang lereang ibo.  

"Kemudian ada juga 'dendang baliang-baliang lambok malam'. Dendang ini tetap berlangsung oleh pedendang namun tidak diiringi dengan saluang. Pendendang tetap jalan sendiri dalam artian tunggal atau solo," terangnya sembari merobah posisi duduknya.

Dia mengaku hingga saat ini anak-anak muda yang belajar untuk mendalami saluang pauah ini belum ada. Namun, generasi muda dibidang akademisi yang belajar  masih ada karena tuntutan jurusannya. Hanya saja mereka belajar sebagai pembelajaran saja dan tidak mendalami saluang pauah secarah utuh. Baik dari segi pantun ataupun yang berkaitan dengan cerita yang dimainkan pada saluang pauah.

"Dalam dendang pauah pantun atau lagu yang dimainkan adalah dua bagian yakni, 'Kato Bayangan' disebut juga dengan makna tersirat terkandung dari pantun atau lagu yang dimainkan. Kemudian pantunnya bersajak AB-AB atau lebih dikenal dengan pantun empat," akunya.

Dia menjelaskan isi atau pesan yang disampaikan dalam pantun dan lagu saluang pauah pun berisi tentang nasehat dan pembelajaran. Dalam dendang atau lagu, pantun yang dimainkan selalu berkaitan dengan cerita sesuai dengan apa yang diajarkan oleh guru. Meskipun ada penambahan pantun baru diluar yang di ajarkan oleh guru, namun pantun tersebut harus saling berkaitan dan nyambung dengan cerita. Jika tidak nyambung dengan cerita maka orang lain yang mendengarkan akan menertawakan, karena telah keluar dari garis dan konsep atau cerita yang disampaikan oleh pedendang.

Selanjutnya, Zamri Rajo Bunsu menambahkan ada lagu atau dendang dan pantun yang telah ditetapkan alurnya oleh guru terdahulu. Pantun tersebut tidak boleh dirobah dan tidak boleh pula ada pemabahan kalimat. Pantun yang telah dialurkan berisi 8 pantun yang di sebut lagu panjang. 8 sampiran dan 8 isi dengan jumlah 16 baris dan tidak bisa dirobah. Sebab, cerita atau dendang dengan berpantun telah dialurkan oleh guru yang diwariskan turun-temurun.

"Peminat saluang pauah ini sendiri semakin berkurang dari tahun ketahun. Penurunan peminat seni tradisi khususnya saluang pauah ini telah dirasakan sejak tahun 1990-an. Meskipun pada tahun 1982 pernah di adakan festival saluang pauah untuk menumbuhkan peminat generasi. Pada tahun tersebut memang banyak yang ikut dan masih banyak orang bisa memaikan saluang pauah. Sesuai berjalannya waktu, saat ini sulit sekali mecari orang yang bisa memaikan saluang pauah. Orang yang bisa memainkan saluang pauah bisa di hitung jari. Pertunjukan salaung pauah ini sering di undang ke luar kota seperti Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok dan Kabupaten Padangpariaman untuk mengisi acara 'alek nagari, batagak gala penghulu' dan 'baralek' (pesta perkawinan)," tambah lelaki yang mengenakan topi koboy dan kacamata hitam itu.

Zamri Rajo Bunsu, Padendang atau tukang dendang pauah mengatakan dirinya belajar dendang pauah sejak 5 tahun belakangan. "Pada tahun 1989 telah belajar saluang darek dan mahir memaikan saluang darek. Karena sewaktu kecil sering mengikuti ayah pergi bagurau, sebab ayah juga seorang padendang. Namun pada tahun 2007 telah mulai mendalami saluang pauah dan belajar dengan guru bernama Burhanuddin alias Balak Ense. Burhanuddin merupakan generasi keempat sejak saluang pauah group Saluang Pauah Jati Sehati. Burhanuddin ini saat pertunjukan saluang pauah selalu memakai kaca mata hitam. Sejak guru meninggal dia meninggalkan amanah agar saya memakai kacamata hitam miliknya saat pertunjukan. Saya selalu memakai kaca mata hitam ini saat pertunjukan untuk menghargai guru," katanya.

Dia mengaku untuk latihan tertentu atau latihan rutin saat ini tidak ada lagi. Kalau dulu memang ada latiah rutin sekali dalam seminggu atau lebih dikenal dengan 'bagurau'. Namun sekarang tidak ada lagi, jika ingin bagurau (berdendang sembarilatihan dan ngumpul) cukup panggil dan langsung mentas, karena telah bisa dan dianggap mampu.

"Hingga saat ini, saluang pauah yang masih bertahan tinggal empat group. Mereka semua umurnya diatas 50 tahun yang mengusai dendang pauah dan saluang pauah. Tidak ada generasi muda yang berminat untuk belajar saluang pauah. Generasi saat ini lebih cenderung memilih musik modrn, orgen tunggal dan lain-lain," tuturnya.

Dia menjelaskan saluang pauah tersebut pada saat pertunjukan tidak ada aturan tertentu. Untuk pertunjukan pedendang boleh dua orang atau tiga orang tergantung kebutuhan disaat pertunjukan. Pedendangnya pun boleh saling sela-menyela dan sahut-sahutan tergantung penyesuaian dendang atau irama dan tidak lari dari alur cerita. "Asalkan pantunnya dan iramanya dapat, tidak keluar dari cerita boleh-boleh saja berdendang tiga orang dengan cara bergantian saat pertunjukan," tuturnya.

Amen Rajo Alam, 65, pemain saluang pauah, mengaku belajar memaikan saluang pauah sejak kecil. "Untuk memaikan saluang pauah ini bisa sampai setengah jam tidak putus-putus. Kerena kelihaian dalam mengambil perselisihan nafas untuk memainkan saluang pauah. Memainnya dengan cara meniupkan, meskipun ada jeda untuk menghembus nafas," akunya.

Dia melanjutkan pemain saluang pauah dan pendang melakukan pertunjukan selalu berada di atas kasur dan bantal. "Kasur digunakan untuk duduk, bantal digunakan sebagai andasan mix pengeras suara bagi pedendang dan saluang. Sehingga daya tangkap pengeras suara tersebut bisa di atau sesuai dengan kadarnya. Mix tidak dipegar sebagaimana artis bernyanyi. Mix dibiarkan untuk tetap pada posisinya, kemudian dibiarkan irama dendan dan saluang dapat menyesuaikan dengan daya tangkap bunyi mix," lanjutnya.

Asral Tanjuang Rajo Sati, 63, warga Gunuang Sariak Kecamatan Kuranji mengaku sengaja menonton pertunjukan salaung pauah karena hobby. "Saya hoby mendengarkan saluang pauah. Karena pesannya mendalam, sehingga kemanapun saluang pauah ada pertunjukan saya selalu datang, baik dalam acara alek nagari maupun acara pesta perkawinan. Kalau bukan karena hobby, saya tidak bakalan datang jauh-jauh ke sini menyaksikan saluang pauah," akunya.*

No comments:

Post a Comment