Friday, May 20, 2016

Basijobang Pewaris Tunggal Tanpa Generasi

Festival Ladang Tari Nan Jombang Tanggal 3 menampilkan Basijobang Kabupaten 50 Kota Provinsi Sumatera Barat. Asrul Datuak Kodo, cemas Basijobang tenggelam dimakan usia. Sebab, hingga saat ini tidak adalagi generasi penerus Basijobang. Meskipun ia telah membuka diri pada siapa saja yang ingin belajar dan mendalami Basijobang. Tapi tidak ada yang berminat untuk belajar.
 
Laporan : Julnadi Inderapura

Asrul Datuak Kodo : Basijobang
Ia duduk diatas tikar rotan. Tikar itu selebar tikar sajadah shalat. Ia duduk dengan melipat kaki kanannya. Sementara tangan kiri berada di telinga untuk menahan leking suara ke telinga. Sebab, antara telinga, hidung dan tenggorokan berhubungan. Makanya kerapkali orang bersuara keras sering menutup telinga, agar suara tersebut tidak berpengaruh pada telinga, sebab pita suara berada di tenggorokan.

Sedangkan siku tangan kanan ditumpu pada lutut kaki sebelah kiri. Ia duduk seperti duduk seorang pendeka di Ranah Minang. Sementara tangan kanan mengatur tempo musik perkusi yang dimainkan dengan satu set korek api. Basijombang menggunakan media korek api sebagai alat musik perkusi.

Ia memang sudah tua, sehingga hela nafasnya sangat keras terdengar, saat melakukan selisih nafas menyatukan pernafasan dengan (nada /suara) Dendang (senandung / nyanyian). Gigi serinya pun telah habis dimakan usia, terlihat saat ia lagi tertawa. Ia orang yang kocak dan suka bercanda serta mudah akrab dengan siapa saja. Sesekali ia pun mendekur untuk mengatur suara saat berdendang agar suaranya tidak sumbang.

Ia bergitu khusuk berdendang serta irama yang dinamis. Ia memakai cincin besi di jari manis pada jari tangan kanannya. Ia memakai Kopiah (Kopiah / Peci / Topi / tudung kepala atau Songkok untuk menutup kepala) beludru warna hitam yang bermotif. Kopiah para datuak-datuak disebagian nagari di Ranah Minang.

Ia berpakaian serta hitam dengan rendo ( motif ) warna kuning dari benang emas. Sementara salempang songket warna biru benang perak tersangkut di pundaknya, kemudian pinggang diikat dengan kain songket warna merah dan memakai galembong.

Ia tampil Basijobang pada Selasa, 3 Mei 2016 malam di iven Festival Ladang Tari Nan Jombang Tanggal 3 di gedung pertunjukan Manti Manuik memakai pakaian kebesaran, yakni pakaian Datuak ( Datu : Raja ). Menurut dia, setiap pertunjukan yang dilakukan tidak harus memakai pakaia datuak. Tidak ada aturan yang mengharuskan berpakaian datuak. Setiap pertunjukan Basijobang boleh memakai pakaian biasa, asalkan pakaiannya sopan.

Ia bernama Asrul bergelar Datuak Kodo, merupakan gelar pusako kaum. Ia kelahiran Sei Tolang Kecamatan Guguak, Kabupaten 50 Kota tahun 1952 lalu. Kini ia telah berumur 64 tahun. Ia saat ini tinggal di simpang Sugiran Kecamatan Guguak Kabupaten 50 Kota Provinsi Sumatera Barat. Ia dikaruniai dua orang anak bernama Armiati dan Andrianto dengan isteri pertama Nurbaiti (alm). Kemudian, ia menikah lagi dengan isterinya yang kedua bernama Neldi Warnis, namun pernikahan mereka berdua belum dikaruniai anak karena telah tua.

Ia menyebutkan Basijobang telah ada sejak dulu, namun ia tidak mengetahui kapan tahun persis Basijobang tersebut berada. Tetapi ia mengenal Basijobang sejak masih kecil, sebab orang tuanya bernama Rasyid merupakan pemain tradisi Basijobang. Kemudia ia sendiri belajar Basijobang kepada Munin yang merupakan gurunya. Sementara itu, Munin sendiri merupakan murid dari Rasyid ayahnya.

Datuak Kodo memainkan empat jenis dendang ( lagu / nyanyian ) Basijobang yang dimainkan. Pertama, dendang Pasambahan, kedua, dendang Sei Tolang, ketiga ( dendang concang ini sendiri terbagi menjadi dua, yakni dendang concang Sijobang dan dendang Siana), keempat, dendang Pariaman ( Daerah Pesisir Pantai Sumatera Barat ).

Basijobang bercerita tentang kisah Anggun nan Tungga. Apa alasan dinamakan Basijobang, dikarenakan pemainnya (tukang dendang / penyanyi / orang menyanyi ) hanya sendiri dan tidak ditemani dengan pemain pendukung lainnya. Oleh karena itu, para tertua ninik moyang dulu, memberikan nama Basijobang.

Kemudian, nama Basijobang juga dikenal dengan nama lain seperti Basijontiak, ( menjentik korek api ). Ada pula daerah lain mengenal Basijombang dengan nama lain yang dikenal dengan Basitunggao. Istilah ini di kenal di daerah Koto Nan Ompek dan Koto Nan Godang Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat.

"Urang sorang banamo tigo, dek ketek basiroman, alah godang banamo sijobang sati, imbaunyo anggun nan tungga" (orang pada usia kecil memiliki tiga buah nama yang serupa, setelah dewasa bernama Sijobang Sakti, Panggilannya Anggun Nan Tungga), begitulah ia memberi istilah pada Basijobang.

Basijobang, bercerita tentang kisah Anggun Nan Tungga, ada banyak tokoh dalam kisah anggun nan tongga tersebut, seperti Cintopomai, Sabirullah, Panduko Rajo. Kemudian, Anggun nan Tungga sendiri merupakan cerita dan kisah asal pesisir pantai, kenapa hal itu berkembang di Payakumbuh. Sementara di Pesisir Pantai ( Pariaman ) sendiri cerita Anggun nan Tungga tidak begitu populer dan bahkan banyak yang tidak mengetahuinya.

Hanya saja Rajo Tiko Pariaman semasa itu, dikenal dengan Nan Tungga Magek Jobang. Jadi, kenapa di darek ( Daerah Pedalaman ) cerita Anggun Nan Tungga justru berkembang. Sebab, Luhak Nan Tigo ini justru telah dibagi dan memiliki keahlian masing-masing. Luhak Agam, merupakan ahli bermain Saluang ( musik alat tiup yang terbuat dari bambu ).

Luhak 50 Koto, Payakumbuh ahli kaba ( kaba : cerita ), sehingga pada waktu itu banyak seni tradisi yang berkembang seperti Randai ( Randai disebut juga dengan Teater Rakyat). Randai berkembang di Payakumbuh, karena disana memiliki keahlian bakaba ( bercerita ) untuk diceritakan dalam seni tradisi Randai. Sementara itu, daerah Pariaman ( asal kaba Anggun Nan Tungga) memiliki keahlian dalam menari.

Ia menceritakan alasan kenapa Basijobang, Basijontiak, Basitunggao, sebagai media alat musiknya menggunakan korek api. Ia menyebutkan, hal itu disebabkan karena tidak ada alat musik yang dimainkan untuk mengiringi dendang ( Basijobang ) ketika itu. Makanya, menggunakan korek api sebagai alat musik bantu sebagai isian dendang.

Menggunakan korek api juga suatu yang telah baru berkembang. Padahal Basijobang telah ada sejak catuih api. ( Batu api yang digesek dengan besi disertakan bubuk, sehingga mudah terbakar. Hal itu cara yang diyakini untuk mendapatkan api ). Tapi dirinya tidak mengetahui sebelum korek api ada, apa media Basijobang dimainkan untuk isian dendang. Sebab, Basijobang yang ia kenal telah menggunakan media korek api sebagai musik isian dendang. 

Kemudian, Basijobang juga mengalami perkembangan dengan menggunakan musik Kecapi ( Alat musik Kecapi Payakumbuh ) sebagai pendukung isia dendang. Ia mengaku mulai menekuni Basijobang sejak tahun 1970-an. Sehingga, hasil Basijobang ia kumpulkan untuk berkurban pada hari raya qurban. Ketika itu, ungkapan orang kampung kepadanya bahwa dengan uang Basijobang ia berqurban, apakah halal uangnya.

Ia kemudian mencari ulama besar ahli tafsir dan dapat dipercaya dengan keahlian ilmu dimilikinya untuk bertanya. Kepada ulama tersebut ia mengaku bahwa dirinya berqurban dari hasil uang nyanyi ( dendang ) Basijobang. Apakah uang yang didapatkan tersebut dengan cara Basijobang halal atau tidak.

Jika uang yang didapatkan tersebut halal dan tidak bertentangan dengan hukum agama, maka ia akan melanjutnya. Tatapi apabila uang yang didapatkan tersebut dengan cara Basijobang, bertentangan dengan agama dan haram hukumnya, ia berjanji berhenti pada saat itu juga.

Namun, ulama tersebut menyebutkan bahwa tidak ada larangan dalam agama dan tidak ada pertentangan dalam Islam ( Hukum Islam ). Ia beralasan bahwa pada saat pemanggilan ke suatu tempat untuk memainkan Basijobang tentu ada perhitungan ( kesepakatan ) kedua belah pihak terlebih dulu. Kemudian, diberikan uang karena kemampuan ilmu seni Basijobang yang dimiliki. Hal itu, menjadi dasar pikiran dan berpijak baginya untuk terus mempertahankan Basijobang.

Namun, jika hiburan ( Basijobang ) tersebut menyuruh atau mengajak untuk membuat maksiat, maka penghasilan yang didapatkan tersebut bertentangan dengan agama dan haram hukumnya. Ulama tersebut menyebutkan, bahwa dirinya ( Datuak Kodo ) di bayar Jasanya karena kemampuan dan keahlian seni yang ia miliki. Maka, uang jasa tersebut dibolehkan dalam syariah Islam. Mendapat pencerahan seperti itu, barulah ia berkomitmen menpertahankan Basijobang hingga saat ini.

Ia mengakui perjalanan serta pengalaman mentas yang pernah dijalaninya adalah mentas di taman Ismail Marzuki. Ia mentas saat membawakan pertunjukan Teater 'Mambakik Batang Tarandam' pada tahun 1984. Ketika itu ia membuat teater di UPTD Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1984, ia mementaskan basijobang di tempat yang sama ( Taman Ismail Marzuki ).

Ia mengakui bahwa untuk pentas Basijobang tersebut boleh dimainkan pada acara pesta perkawinan, Sunatan Rasul, Syukuran dan doa pergi ke Makkah. Tetapi yang lebih diutamakan adalah Alek Penghulu ( Tagak Penghulu : Pemberian Gelar Penghulu / Raja Kaum / Suku di Minangkabau ). Alek ( pesta ) pengangkatan penghulu ini ada dua pilihan seni tradisi yang ditampilkan yakni Basijobang atau Randai.

Pada tahun 1975-1990-an pernah mentas setiap malam dan selama satu bulan berturut-turut ia tidak pernah tidur karena banyaknya permintaan untuk memainkan Basijobang. Ia tidak tidur karena banyak mentas keliling, misalnya malam ini Basijobang di Padang, kemudian malam berikutnya di Batu Sankar dan seterusnya hingga satu bulan berturut-turut. Hal itu tidak membawa pengaruh pada dirinya, sebab jika hal tersebut telah terbiasa maka tidak akan membawa dampak apa-pun pada dirinya.

Ia menyebutkan bahwa seni tradisi Minang yang berada di Luhak nan Tigo, sering dimainkan pada saat malam hari. Seni tersebut dimainkan setelah waktu shalat Isya sampai waktu Shalat Shubuh. Memainkan ( Basijobang ) untuk satu kisah Anggun Nan Tungga saja tidak selesai hanya satu malam saja. Sebab, kisah ( cerita ) Anggun nan Tungga sangat panjang.

Untuk menjaga serta merawat Basijobang agar tidak hilang di tengah masyarakat, Ia sendiri pernah merekam kisah Anggun Nan Tungga di AkademiSeni Karawitan Indonesia ( ASKI ) Padangpanjang saat ini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang sebanyak 64 kaset ( episode ). Satu kaset ( episode ) dengan panjang durasi 90 menit. Maka, untuk menguraikan kisah Anggun nan Tungga tersebut menghabiskan waktu selama 9 hari dan belum bisa terselesaikan.

Konon kabarnya kaset yang telah direkam tersebut telah rusak dan tidak dapat di putar lagi dengan baik. Suaranya tidak jelas lagi terdengar, sebab kaset tersebut telah lama tersimpan. Kemudian media pemutarnya pun juga tidak adalagi sesuai dengan perkembangan teknologi. Kaset tersebut berupa kaset vidio, tahun 1990-an.

Ia mengakui bahwa pernah ditemui ilmuan dari berbagai negara untuk penelitian tentang Basijobang. Tamu yang sekaligus datang untuk mewawancarai asal mula Basijobang. Tamu tersebut diantarnya dari Jerman, Skotlavia, Ceko, Belanda, datang menemuinya untuk merekam kembali Basijobang tersebut.

"Ketika orang Jerman datang menemui saya, untuk meneliti seni tradisi minang Basijobang, namun ada dua orang anak muda menertawakan apa itu Basijobang. Kok lah punyo awak nde, ndak tontu de apo Basijobang," katanya dengan suara serak, lalu raut wajahnya pun berubah. "Astaghfirullah" ia istighfar mengingat kembali perlakukan generasi saat ini.

Orang Jerman sendiri mengetahui apa itu Basijobang, mereka sangat mengenal Basijobang, namun pengetahuannya tentang Basijobang melalui internet dan sosia media (sosmed). Di sosmed banyak membahas Basijobang, termasuk tentang dirinya yang ditulis oleh penulis. Orang Jerman tersebut langsung menemuinya dan bertanya banyak tentang Basijobang. Sementara itu, Basijobang itu sendiri tidak diketahui generasi suda, malahan Basijobang jadi cemoohan oleh generasi saat ini.

Ia menjadi sedih karena hingga saat ini belum ada generasi penerus Basijobang yang merupakan seni tradisi Tuo ( seni tradisi Kuno) dan langka. Termasuk anaknya sendiri juga tidak ingin belajar Basijobang. Sebab, anaknya yang laki-laki telah di panggil buya di kampung jadi ia enggan berlajar Basijobang. Ia sedih karena tidak ada lagi pewaris Basijobang.

Jika dibandingkan dengan orang dari negara luar saja datang ke Sumatera Barat ( kepadanya ) untuk mencari tahu dan belajar Basijobang. Namun, generasi muda ( putra-putri ) Minang sendiri tidak mengetahui apa yang di sebut Basijobang. Untuk mengetahui Basijobang saja itu lebih dari cukup, begitulah harapannya. Hal itulah yang membuat kekhawatirannya semakin mendalam, sebab, saat ini dirinyalah salah satu-satunya pewaris Basijobang yang masih hidup.

Upaya yang dilakukan untuk menurunkan Basijobang pada generasi muda, ia membuka diri bagi siapa saja yang ingin mendalami dan belajar Basijobang. Ia siap mengajarkan Basijobang pada siapa saja yang ingin belajar dengan mendatanginya. Saat ini tidak adalagi pemain Basijobang, termasuk daerah lain. Ialah satu-satunya pemain Basijobang yang tersisa saat ini.

Sebelumnya ada banyak pemain Basijobang yang ada di kabupaten 50 kota Sumatera Barat. Seperti Suir, Basijobang asal Tobek Panjang yang ia kenal, namun saat ini ia telah meninggal. Kemudian Maruman, Bakharuddin, Munin merupakan gurunya juga telah meninggal. Sementara itu, di Gadut Kabupaten 50 Kota juga ada tiga orang pemain Basijobang, namun semuanya telah meninggal.

Ia berharap semoga saja ada generasi yang terangsang untuk belajar Basijobang. Namun jika tidak ada yang ingin belajar Basijobang maka tidak ada lagi generasi penerus Basijobang. Keterpurukannya semakin memuncak jika membayangkan Basijobang akan hilang di telan zaman. Terlihat dari raut wajah serta air mukanya berubah tiba-tiba.

Sementara itu, upaya pemerintah menjaga dan melestarikan seni tradisi dalam pengamatannya sangat minim serta jauh dari harapan. Ketika ada kebutuhan dan kepentingan dari pemerintah barulah pemerintah mencari seni tersebut ( termasuk Basijobang ). Tapi jika tidak adalagi kepentingan pemerindah didalamnya, maka ia tinggalkan dan seakan tidak peduli lagi dengan kesenian ( tradisi ).

Selain itu, lanjut dia, dari kalangan akademisi pun juga demikian. Akademisi itu sendiri juga tidak ada yang ingin belajar Basijobang. Mereka hanya sekedar bertanya-tanya saja, namun tidak ada yang belajar Basijobang. Terlebih lagi generasi muda saat ini, apabila ketika ingin ujian dan menulis karya ilmiah Skripsi, barulah mereka mencari tahu tentang seni tradisi Basijobang.

Apalagi mereka kuliah pada jurusan sastra, barulah mereka mencari dirinya ( Datuak Kodo ) untuk bertanya dan mencari tahu tentang Basijobang. Tetapi, tidak ada yang secera sengaja untuk belajar sungguh-sungguh tentang Basijobang padanya. Melainkan karena kepentingan serta untuk mendapatkan gelar sarjana saja. 

Ia menyebutkan bahwa yang paling menarik dari cerita Basijobang tersebut jika dihayati selama bertahun-tahun baru terasa manfaatnya dan pesan-pesan moral yang terkandung didalamnya. Suatu kebanggaan baginya telah dikunjungi beberapakali oleh orang nomor satu di Ismail Marzuki, yakni Tom Ibnur. Serta tamu dari berbagai negara untuk mencari tahu tentang Basijobang.

Ia menjelaskan untuk belajar Basijobang tentu memiliki syarat dan rukun tertentu yang harus dilengkapi. Namanya saja pergi 'ba-guru' ( belajar kepada se orang guru ) harus melengkapi syarat dan rukun. Apa yang dikatakan syarat adalah sebagai persiapan sebelum melakukan suatu pekerjaan yang akan dikerjakan.

Miasalkan seseorang ingin belajarkan ke sekolah, maka ia harus melengkapi perlengkapan untuk sekolah, serperti buku tulis, pensil dan seterusnya. Kemudian jika seseorang yang jauh tempat tinggalnya dan tidak sanggup berjalan kaki sendiri untuk datang ke sekolah harus memiliki kendaraan sendiri, itulah yang dikatakan syarat untuk belajar ( baguru ). Kemudian, setelah syarat terpenuhi barulah melengkapi rukun. Sementara rukun itu sendiri menjadi bagian dalam suatu pekerjaan. Maka, rukunnya adalah menuntut ilmu ke guru atau belajar ke pada guru.

Sebelum menuntut ilmu ke guru, lengkapi syarat ( alat ) yang harus di penuhi diantaranya, Kain Putih, Ayam Biriang ( Ayam berbulu kuriak / totol ) dengan kaki warna kuning, Pisau Tajam, Lado ( cabe ) secukupnya, Garam, Beras Satu Gantang ( 1,5 kg ), Uang Rp10 ribu, Siriah agak sacabiak ( Sirih secukupnya ), Pinang agak sagatok ( buah pinang satu potong ). Tujuannya ialah untuk persiapan sebelum melakukan suatu pekerjaan.

Ia mengaku untuk belajar menghafal kisah ( cerita ) Anggun Nan Tungga dengan panjang 64 kaset ( episode ) tersebut dengan cara mendengarkan apa yang dikatakan guru. Ia harus mendengarkan dengan serius dan saksama perkataan guru. Semua ungkapan guru tersebut telah tertanam di dalam pikirannya termasuk kisah Anggun Nan Tungga. Ia mengaku tidak pernah mencatat sama sekali apa yang dikatakan guru melainkan mendengar lalu mencoba kembali.

"Kok mudo anggunan tongga,
amangkuto jirek dalimo,
kok mudo bangun lah ba a,
sampan ka tapi nan lah tibo,

Sabaralun kasiah da olu,
Nan tungga landaian ka tali timbo,
Nan mudo bangun da olu,
Sampan ka tapi nan lah tibo,"

"Baitulah guru manorangkan. Den de yo mandonga jo nye guru mengecek, a lokek dikapalo, (Seperti itulah guru menerangkan / menceritakan. Saya hanya mendengarkan guru berbicara dan masih melekat diingatan hingga saat ini)," tutupnya.

No comments:

Post a Comment