Thursday, March 14, 2013

MUSTA’ID PEMERANAN : empat cara wujudkan motivasi aktor

Oleh: Julnadi Inderapura
Beranjak dari  sesuatu yang tidak dapat  dimengerti bagaimana teater itu sebenarnya. Sesuatu yang tidak di mengerti itu akan dapat di pahami jika kita telah mempelajarinya. Jadi apakah teater itu sebenarnya? Menurut Imam Soleh asal usul teater tidak pernah terbukti dengan kuat dari mana asalnya, semua teori berlandaskan dugaan atau lebih tepat berdasarkan perkiraan saja, sebab sebetulnya “mimesis”  ( tiruan-meniru ) merupakan bawaan sejak lahir.

Hal ini tentu tidak tertutup kemungkinan dengan adanya bakat yang dibawa semenjak lahir. Mimesis yang terbawa semenjak lahir pun tidak dilandasi dengan mengada-ada dalam konteks yang memiliki unsur-unsur teatrikal, sebab keadaan mereka hampir tidak memiliki apa-apa untuk menghadapi perubahan. Mereka seakan-akan tumbuh sebagai akronim baru dalam perluasan teatrikalnya sebagai manusia yang dilahirkan.

Dalam perluasannya teater juga lebih bersifat temporal  untuk menerjemahkan apa-apa yang telah dilihat dengan kasat mata. Teater merupakan campuran semua unsur seni yang kemudian akan menjadi sebuah “seni pertunjukan”.  Dalam teater itu sendiri terdapat beberapa aspek desain artistik, pemain, sutradara, musik, penonton, kemudian mencoba untuk meng-interpretasikan kedalam sebuah “pemeranan”.  Namun, pemeranan ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat lahiriah atau bakat.

Teater kemudian menjadi cerminan dan pengaruh pada pandangan masyarakat yang membantu mempelajari hidupnya dan hidup orang lain. Teater juga sangat peka terhadap sesuatu, kemudian menerjemakannya kedalam sebuah pertunjukan.  Apakah sesuatu itu berkaitan dengan sejarah, filosofi, sosial kemasyarakatan yang kemudian dipekerjakan oleh jiwa dan tubuh yang disebut “pemeranan”.

Apa itu pemeranan, dan apa medianya? Pertanyaan ini tentu akan mempermudah kita untuk mejawabnya sebagai pemain yang berperan sebagai kreator.  Pemeranan adalah bagaimana suasana batin yang lebur dan luluh menyebabkan timbul sendirinya gerakan-gerakan lahiriah antara kaki, tangan, kepala, dada, pinggul dan lain-lain. Media pemeranan itu adalah tubuh. Maka dimungkinkan kita harus melatih melenturkan bagian tubuh. Sebab sendi-sendi akting yang perlu selalu diingat berpadu pada bagaimana pemain dengan persiapan menggunakan pusat tenaga batinnya untuk membangun suasana.

Dalam teori James Lange pemeran dalam arti, gerakan fisik dapat memancing reaksi yang bersifat emosional, menekan nada tubuh, bagaimana reaksi psikologis timbul dari rangsangan luar jiwanya. Bagaimana aktor mampu meniru-tiruan dari orang lain, sehingga menyatu dalam jiwa yang di mainkan. Maka aktor tidak hanya sebagai pemain yang memainkan tokoh yang dilakoninya.

Imajinasi dan observasi mengingatkan pada ingatan para aktor dalam menemukan sesuatu dalam hidupnya yang agak mirip, atau bisa membangkitkan emosi yang dikeluarkan suatu karakter dalam panggung. Pemain yang memerankan perananya di pentas  sebagai pembeda Seseorang dalam teater dengan seseorang dalam kehidupan nyata. Maka pemain menyesuaikan ide dalam naskah sehingga menciptakan emosi baru dengan imajinasinya.

Para aktor harus memahami bagaimana karakter yang mereka bawakan berhubungan dengan tema, aksi dan lakon. Sebab aktor menjadi sebuah perlakuan yang satu tubuh yang komplit. Sehingga akan dapat di pahami aktor sebagai laku di atas pentas yang kemudian di sebut sebagai bagian dari pertunjukan.

Sementara Edi Suisno mengatakan, ada pembagian dalam kontek membangun motif gerak-laku pemain di pentas. Seorang aktor mesti melakukan motif gerak yang sesuai dengan alasan-suatu sebab. Motif yang di kembang dalam pertunjukan menjadi sesuatu pendukung  pemeranan pemain dan laku.

Menciptakan “kesatuan”  dalam hal ini laku atau perantara dengan memperhatikan akting-akting kecil, dengan mencermati properti di atas panggung sebagai penciptaan kesatuan manggung. Seorang pemain juga tidak hanya terpaku dalam teks-teks naskah dengan menciptakan cara pengucapan atau dialog. Tetapi, aktor juga menghadirkan sebuah bahasa-bahasa lain yang dihadirkan dalam panggung dengan adanya properti. Dipentas, setting menjadi senyawa dengan pemberlakuan tubuh aktornya. Sehingga dalam penggarapan realis dengan pendekatan lausky iman soleh menambahkan properti menjadi penguatan tokoh selain tubuh dengan bahasanya.

Menciptakan kelemahan peristiwa dalam panggung menjadi sangat penting sebagai seorang pelaku. Sehingga dalam sebuah pertunjukan akan dapat dinikmati sebuah suguhan yang benar-benar terjadi. Peristiwa yang dihadirkan di atas pentas tidak semata peran yang dimainkan. Namun dalam sebuah penyatuan emosi dengan peristiwa dan karakter yang dimainkan oleh aktor.

Seorang aktor dipentas perlu mengingat setiap perpindahan yang mesti memberikan kesan keseimbangan, harmoni dengan segala motivasi yang mengandung syarat-syarat estetik. Motivasi itu dapat diwujudkan melalui empat cara. Pertama, gestur adalah semua gerak inti melalui tangan, lengan, kepala, kaki, dengan volume ruang yang luas. Kedua, gait juga mengandalkan volume ruang yang luas, tetapi disini bagian tubuh yang menentukan terutama kaki, misalnya cara berjalan. Ketiga, busines. Istilah ini kaku dalam dunia teater, dimaksudkan sebagai pelaksanaan gerakan-gerakan kecil yang mengandung impresi, misalnya melalui bibir, jari dan alis. Dan yang keempat movement adalah alihan tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain, dan dalamnya mengandung pengertian bloking secara terbatas untuk mencapai keseimbangan gambar fisik panggung.

Kemudian Edi Suino juga menambahkan bahwasanya respon terhadap settinga menjadi sebuah emosi tersendi yang hadir di atas panggung.  Relefansi antara pemain dan permainan akan lebih di bongkar dari bentuk-bentuk gerak-laku dengan menggunakan pendekatan magig If. Kalau begitu “yang-mengucapkan” cenderung menjadi lebih penting dari “yang-diucapkan” sehingga actor mampu menterjemahkan gerak-laku mengganti bahasa dari sebuah teks dengan tubuhnya.

“Megig If” yang dipakai sebagai kolesari dari bentuk gerak laku yang mempunyai kehendak lahir dari dalam sehingga tidak terkesan mengada-ada. Maka dalam pendekatan yang dilakukan pemain ini adalah sebagai latihan berimajinasi yang tinggi. Imajinasi akan membantu pemain untuk memancing suasana tanpa naskah dengan meniru atau Subsitusi. subsitusi adalah istilah acting Iman Soleh yang merupakan “mengganti seseorang yang nyata (secara mental) kepada actor lain” sejauh manakah seorang actor “menjadi satu” dengan perannya itu. Bagaimana seorang pemain mampu menghadirkan peristiwa sesungguhnya di atas panggung. Dalam konteks ini bagaimana pemain itu melakukan peranan di panggung? Apa yang mesti dilakukan pemain dalam menghadapi peristiwa di atas panggung?

Dalam kedudukannya sebuah pertunjukan teater adalah sebagai suatu teks, teks pertunjukan yang juga sebagai suatu sistem tanda, maka segala sesuatu yang disajikan pada penonton dalam teatrikal adalah tanda-tanda yang singnifikan. Atrinya, mempunyai arti atau makna. Maka sebuah pertunjukan penonton menjadi penting. Sebab, adanya pertunjukan ditandai dengan adanya penonton.

Seorang pemain adalah main-main atau mempermainkan, bermain-main atau dipermainkan sebagai aliansi kemudian mempermainkan. Ini tentu perlu kita perhatikan sebagai pemain pemula teater  dengan melakukan latihan relaksasi, Konsentrasi, imaginasi dan observasi yang di sebut sebagai proses acting.  Prosesi ini tentu akan membantu para pemain kosentrasi main-main atau mempermainkan. Imaginasi yang tinggi dan didukung dengan observasi yang kemudian meniru dari objek yang diamati sehingga aktor tidak “terkesan” main-main atau mengada-ada.

Menurut Iman Soleh untuk melakukan latihan atau proses acting adalah menganalisa peran, persiapan psikologis dan emosional, gerakan dan gesture, karakteristik vocal, mempelajari tema, percakapan dan membangun, permainan “ensemble”. Maka dalam penciptaanya yang di angkat dalam karakteristik pemain perlu diperhatikan sejauh mana kemampuan para pemain dalam memerankan yang dilakoninya. Sehingga sangat dimungkinkan para pemain tidak sadar dengan itonasi irama vokal yang dikeluarkan dimungkinkan dengan latihan yang mempunyai karakter.

Istilah “karakteri” berasal dari bahasa Yunani “Kharakter” berarti tiga prinsip yang dihubungkan dengan kumpulan ide-ide. Salah satu prinsip diantaraya pengertian metaforikal “tanda”, atau “tanda yang memberi kesan” pada seseorang atau sesuatu. Istilah karakteristik ini pertama digunakan dalam bahasa inggris untuk menunjukkan “suatu kepribadian dalam suatu novel atau suatu lakon” pada tahun 1749 yang dipopulerkan oleh Elaine Aston dan George Sanova dalam bukunya  yang berjudul Theatre As Sig-Symtem: A Semiotics Of Teks And Performance.

Kemudian, istilah karakter  dalam drama dan teater menjadi padanan istilah tokoh yang berarti tokoh yang berwatak. Artinya tokoh yang hidup, berjiwa atau ber-roh, bukan tokoh mati. Kemudian watak tokoh dalam wacana dramatik dibangun secara keseluruhan dengan alat bahasa. Seperti halnya dalam tokoh untuk melakukan analisis dialog dengan pendekatan semiotika diperlukan pengetahuan awal  yang membedakan antara isi pokok teks dan teks yang memuat petunjuk pemanggungan. Maka untuk terwujudnya penokohan yang kuat perlu latihan “ke-aktoran” atau “pemeranan”.

Lain hanya denga Muhammad Ibrahim Ilyas menyatakan bahwasanya teater adalah replika dari kehidupan nyata. Maka, tidak ada kemungkinan lain selain dari pengalaman. Sebagai pereta workshop teater remaja, Bram menggiring peserta kelapangan dan lebih menekankan pada obsevasi menitik beratkan pada laku masyarakat, memudian mempragakannya (meniru-niru, menainkan atau mempermainkan) di panggung. Sebagai sebuah kerja pemeranan untuk memperkaya laku dalam manggung.

Dalam latihan yang menggunakan naskah seorang pemain harus mampu meng-analisis pendapat orang lain mengenai karakter dalam konteks naskah. Sehingga pemain tidak hanya mendefenisikan tujuan dari karakter  yang dicari dalam setiap adegan. Namun para aktor harus memahami karakter yang mereka bawa yang berhubungan dengan tema dan aksi lakon. 

Berbagai metoda dan unsure yang diinginkan oleh para pemain dengan gerak dan gesture sebagai pembangkit mood atau suasana hati, untuk memperjelas watak dari pelaku dalam teks naskah. Maka akan dapat membantu “membangun” motif permainan yang dinamis dan menyenangkan.

Nah, untuk mencapai metoda dan unsur-unsur yang diharapkan maka diperlukan latihan secara serius, baik dalam kelompok secara kolektif maupun individu. Ada hal yang menarik dari pemaparan materi workshop oleh para narasumber yakni dengan melakukan simulasi atau gime-gime dengan melakukan gerak yang sederhana, kemudian gerak dengan bunyi dan gerak yang meniru secara detil.

Woskshop teater remaja dengan tiga nara sumber, Edi Suisno seorang akademisi  ISI padang panjang, Iman soleh dari Bandung komunitas CCL kemudian Muhammad Ibrahim Ilyas dari padang. Workshop ini mengangkat tema “pemeranan” yang diselenggarakan oleh UPTD Taman Budaya Sumbar  mulai hari jumat, 25-27 mei 2012 lalu yang bertempat di Galeri. Sebagai responsive kerja seni yang kemudian di manfaatkan oleh berbagai kelompok teater dari dalam Kota dan Kabupaten.

No comments:

Post a Comment